Feeds RSS

Selasa, 04 September 2012

(Masih) Menunggu


Kita berada di jalan persimpangan, menunggumu untuk datang padaku, menunggumu untuk sekedar menoleh di tengah hiruk pikuknya kasibukanmu, aku selalu menunggu di sudut sana, meski kau anggap aku sebagai bayang-bayang tak mengapa, meski kau anggap aku sebagai sosok penggembira aku pun terima. Dan aku masih di sudut sana, menunggumu menyadari kehadiranku. Kadang inginku beranjak, meninggalkanmu yang mengabaikanku, tapi bagaimana jika aku berbalik, lalu kau menoleh padaku melempar senyummu?  Harapan harapan menjadikanku lemah, menjadikanku tetap bertahan meski kadang aku hanya memperoleh harapan kosong. Kini hanya menunggu waktu kapan aku lelah berdiri, hingga tulang benulangku tak lagi sanggup menahan rangka, hingga tubuhku terkapar, dan disaat kau menyadari adanya aku, aku sudah tidak ada disana, lapuk terkubur tanah.

Tanpa arah


Lama tangan ini yang tak merangkai kata. Kehidupan yang seperti apa ini? Berdiri tegak, berjalan tanpa arah, menunggu sang waktu yang menentukan arah? Inikah hidup yang sesungguhnya? Ketika mimpi menyerah pada satu keadaan. Merasa diri tak mampu karena memang tak mampu. Semangat terkalahkan ketakutan, keyakinan terpatahkan keraguan, optimisme berbuah kegagalan lagi dan lagi, lalu mana yang disebut sebuah keberhasilan ketika menemukan dunia yang kau impikan, saat itu pula kau meragukan duniamu. Inikah yang disebut mimpi? Berani bermimpi setiggi tingginya, namun sekali lagi  dihadapkan oleh kenyataan bahwa kau tak cukup mampu. Dulu ku punya impian menggebu, dulu kuberani bermimpi setinggi-tingginya, dulu…dulu sekali, aku tak pernah mengingatnya, lalu kemana impian itu sekarang pergi? Kemana impian tinggi yang dulu terbayang kini menjelma bayang bayang abu… Ketakutan, keresahan, realita, mengubah dunia yang kau impikan menjadi seonggok debu yang kelabu. Tapi inilah dunia, seberapa beranikah kau bertahan pada impian impianmu?

Ketika Ku Jatuh Cinta


Ingatkah kau pada malam berbintang di tengah kebisingan deru mesin? Disana, disaat kita berdua menikmati rembulan yang redup oleh mendung. Ketika kurasakan getar bergemuruh lirih. Namun menguat seiring letupan Guntur yang mengarak uap air. Sedetik berselang rintik rintik menggelitik tubuh yang gersang.

Dan hatiku tak lagi gersang. Dingin mencekam terasa menyejukkan, rembulan redup telah menerang. Getar getar menjalar. Tetes-tetes air meresap. Menyejukkan tiap pori yang mengering. Meski hanya berteman dengan deru angin tanpa suara. Meski kau membisu. Teka-teki terbaca di kedua mata itu. Apakah yang kurasakan ini, kau rasakan juga?