Feeds RSS

Minggu, 26 Agustus 2012

Sinopsis 'Ruang Rindu' Chapter 1


Lexa melangkah perlahan menelusuri sudut galeri, menikmati keindahan seni pameran lukisan karya pelukis-pelukis muda. Beragam aliran lukisan yang dipamerkan, masing-masing lukisan menyimpan karakteristik keindahan tersendiri. Di tengah menikati mahakarya, kedua mata Lexa terpaku pada sebuah lukisan keluarga. Di dalam sana terlukis seorang ayah, ibu dan anak kecil tertawa riang menikmati piknik di sebuah taman. Ketiganya tertawa riang. Tanpa ia sadari kedua tangannya meraih lukisan itu, merabanya sesaat, lalu tersenyum getir ketika menyadari bahwa dia tak lagi punya keluarga, ayah dan ibu yang dia rindukan kini sudah berbahagia dengan kehidupannya masing-masing. Tinggallah Lexa bertemankan sepi, karena kemanapun ia mencari kebahagiaan, ia tak pernah dapatkan. Karena baginya satu-satu kebahagiaan adalah kembali memiliki keluarga yang utuh. Ayah dan Ibu yang bersedia mencurahkan segala kasih sayangnya kepada Lexa. Ayah dan Ibu yang selalu mendukung dan memberi semangat ketika Lexa jatuh. Ayah dan Ibu yang selalu memberinya nasehat tentang kehidupan. Sayangnya, Lexa tak pernah mendapatkan semua itu.
Ingatan Lexa berputar saat terakhir kali ia menikmati masa bahagia bersama Ayah dan Ibunya. Saat itu adalah ulang tahun Lexa yang keenam. Mereka merayakan ulang tahun Lexa bersama, meniup lilin, mencium pipi, memberi hadiah, tertawa riang, menikmati santapan lezat, sungguh kebahagiaan yang tak terbayar. Namun kini memori itu lambat laun memudar dalam ingatan Lexa. Telah banyak yang berubah dalam kehidupan Lexa, sejak perceraian orang tuanya. Rumah yang tadinya begitu hangat, berubah menjadi tempat yang paling menyiksa ketika ia dengar tak ada lagi tawa bahagia. Hanya adu mulut ayah dan ibunya setiap hari, saling menuduh, saling menyalahkan, saling melempar kesalahan, dan ujungnya berakhir dengan tangisan ibunya. Lexa masih terlalu kecil untuk memahami semuanya. Di usianya yang masih tujuh tahun, dia hanya bisa menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya dalam diam.
Hal yang paling menyakitkan bagi Lexa dan masih terasa pedihnya hingga saat ini adalah ketika Lexa menghadiri pernikahan ayahnya tak lama setelah orang tuanya memutuskan bercerai. Beberapa bulan kemudian disusul ibunya yang juga menikah lagi, keduanya kembali merajut kebahagian masing-masing, dan tinggallah Lexa seorang diri yang ditinggalkan. Lexa tak tahu sebabnya mengapa kedua orang tuanya yang dulunya saling memcinta kini saling membenci. Baik ayah dan ibu Lexa tak ada yang ingin membawa Lexa memasuki kehidupan baru mereka. Bagi keduanya, Lexa hanyalah sepenggal masalalu yang mungkin akan lebih baik jika ditinggalkan. Lexa pun resmi diadopsi tante Lina, adik dari ibu Lexa.
Lexa marah, tapi tak tahu harus marah pada siapa. Lexa benci, namun tak bisa benar-benar membenci kedua orang tuanya. Tanpa disadarinya sebutir air mata menetes. Refleks Lexa menengadah, menahah air mata yang menggenang siap jatuh. Ia alihkan tatapannya dari lukisan keluarga itu lalu beralih pada sebuah lukisan. Lukisan epic dengan warna hijau mendominasi. Dalam lukisan tersebut terdapat sebuah hamparan tanah lapang di penuhi bunga edelweiss, di sudut lukisan itu tergambar sosok cewek yang tak nyata, hanya sebuah bayang. Lukisan itu seolah bercerita tentang kerinduan yang mendalam, namun sosok cewek yang dirindukan seolah hanya berupa bayang-bayang tak terjangkau. Lexa menatap lukisan itu lekat dan lama seolah ia juga merasakan hal yang sama. Dia merindukan kasih sayang, hal yang abstrak dan tak terjangkau. Disudut lukisan itu tertulis judul dan nama si pelukis. “Ruang Rindu” by Aditya.
“Edelweiss, abadi. Ruang rindu, kerinduan. Tanah lapang, kerinduan yang tak berujung dan abadi,” Lexa bergumam lirih mendefinisikan arti lukisan itu.
Kini air matanya tak lagi terbendun

0 komentar:

Posting Komentar